Play – Based – Learning (PBL) di Kelas Inklusif

Aktivitas bermain sangat lekat dengan manusia, hingga filsuf asal Belanda mendefinisikan Manusia adalah (Homo Ludens) makhluk yang bermain (Huizinga, 1938). Jeni Riley, 2004 menguraijelaskan bahwa model pembelajaran yang baik bagi anak adalah play-based-activiting. Bermain sebagai landas tumpu bagi semua aktivitas. Bermain memberi kesempatan bagi anak untuk merasakan berbagai nilai tambah pengalaman dengan sesama dan benda, melakukan eksplorasi yang relatif sangat luas sesuai perkembangan usianya.

Selain untuk kecerdasan intelektual, bermain juga sebagai pemicu dan pemacu kecerdasan lain pada anak seperti kecerdasan sosial (Emily N Daubert, Geetha B Ramani, Kenneth H Rubin, 2018), kinestetis, dan bahasa. Bahkan dengan bermain, seorang anak kelak akan bertumbuhkembang menjadi individu yang akan menemuterapkan problem solving dengan beragam cara yang tak terbayangkan (Marjory Ebbeck, Hoi Yin Bonnie Yim, Lai Wan Maria Lee, 2013).

Dalam perspektif neurosains, bermain juga sangat membantu pembentukan jejaring sinapsis dalam otak anak. Beragam pengalaman dalam bermain dan dengan permainan benar-benar sangat membantu mengembangkan seluruh bagian atau lobus dalam otak anak, tidak hanya bagian tertentu seperti bagian kendali motorik saja, (TIME, 2009), dan dalam riset dijelaskan bahwa, bermain dan berprakarya terjalin berkelindan, bahu membahu dalam memberi nilai tambah bagi kinerja otak (Karl H Pribram, 2018).

Dalam riset-riset yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus (child with disabilities), bermain adalah salah satu pendekatan yang wajib dilakukan untuk mewujudkan inklusivitas pembelajaran (Aubrey Shaw, Sharon Kay Stoll, 2018) bahkan untuk anak dengan multiple disabilities (Jane Brodin, 2018).

Karena itu, perhatikanlah porsi kebutuhan bermain anak, sebagaimana diperhatikannya porsi kebutuhan belajar anak, bermain optimal sama pentingnya dengan belajar optimal.